Memuat Laman SD Islam Al-Jannah
Terakreditasi A (Unggul)
Jl. Raya Gabuswetan No. 1
Temu lawak, (nama ilmiah: Curcuma zanthorrhiza) adalah tumbuhan obat yang tergolong dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae).[1] Ia berasal dari Indonesia, khususnya Pulau Jawa, kemudian menyebar ke beberapa tempat di kawasan wilayah biogeografi Malesia. Saat ini, sebagian besar budidaya temu lawak berada di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina[2] tanaman ini selain di Asia Tenggara dapat ditemui pula di China, Indochina, Barbados, India, Jepang, Korea, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa.
Tanaman ini di wilayah Sunda dikenal sebagai koneng gede, sedangkan di Madura disebut temu labak.[1] Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada dataran rendah sampai ketinggian 1500 meter di atas permukaan laut dan berhabitat di hutan tropis.[2] Rimpang temu lawak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada tanah yang gembur.[3]
Terna berbatang semu dengan tinggi hingga lebih dari satu meter, tetapi kurang dari dua meter. Batang semu merupakan bagian dari pelepah daun yang tegak dan saling bertumpang tindih,[4] warnanya hijau atau cokelat gelap. Rimpang terbentuk dengan sempurna dan bercabang kuat, berukuran besar, bercabang-cabang, dan berwarna cokelat kemerahan, kuning tua atau berwarna hijau gelap. Tiap tunas dari rimpang membentuk daun 2–9 helai dengan bentuk bundar memanjang sampai bangun lanset, warna daun hijau atau cokelat keunguan terang sampai gelap, panjang daun 31–84 cm dan lebar 10–18 cm, panjang tangkai daun termasuk helaian 43–80 cm, pada setiap helaian dihubungkan dengan pelepah dan tangkai daun agak panjang. Bunganya berwarna kuning tua, berbentuk unik dan bergerombol yakni perbungaan lateral,[1] tangkai ramping, dan sisik berbentuk garis, panjang tangkai 9–23 cm dan lebar 4–6 cm, berdaun pelindung banyak yang panjangnya melebihi atau sebanding dengan mahkota bunga. Kelopak bunga berwarna putih berbulu, panjang 8–13 mm, mahkota bunga berbentuk tabung dengan panjang keseluruhan 4,5 cm, helaian bunga berbentuk bundar memanjang berwarna putih dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah, panjang 1,25–2 cm dan lebar 1 cm, sedangkan daging rimpangnya berwarna jingga tua atau kecokelatan, beraroma tajam yang menyengat, dan rasanya pahit.[4]
Tanaman ini ditanam secara konvensional dalam skala kecil dengan menggunakan teknologi budi daya yang sederhana, karena itu sulit menentukan letak sentra penanaman temu lawak di Indonesia. Hampir di setiap daerah pedesaan, terutama di dataran sedang dan tinggi, dapat ditemukan temu lawak terutama di lahan yang teduh.
Bibit diperoleh dari perbanyakan secara vegetatif yaitu anakan yang tumbuh dari rimpang tua yang berumur 9 bulan atau lebih, kemudian bibit tersebut ditunaskan terlebih dahulu di tempat yang lembap dan gelap selama 2–3 minggu sebelum ditanam.[1] Cara lain untuk mendapatkan bibit adalah dengan memotong rimpang tua yang baru dipanen dan sudah memiliki tunas (setiap potongan terdiri dari 2–3 mata tunas), kemudian dikeringkan dengan cara dijemur selama 4–6 hari.[2] Temu lawak sebaiknya ditanam pada awal musim hujan agar rimpang yang dihasilkan besar, sebaiknya tanaman juga diberi naungan.[1]
Lahan penanaman diolah dengan cangkul sedalam 25–30 cm, kemudian dibuat bedengan berukuran 3–4 m dengan panjang sesuai dengan ukuran lahan, untuk mempermudah drainase agar rimpang tidak tergenang dan membusuk.[5] Lubang tanam dibuat dengan ukuran 20 cm × 20 cm × 20 cm dengan jarak tanam 100 cm × 75 cm, pada setiap lubang tanam dimasukkan 2–3 kg pupuk kandang.[1] Penanaman bibit dapat pula dilakukan pada alur tanam/ rorak sepanjang bedengan, kemudian pupuk kandang ditaburkan di sepanjang alur tanam, kemudian masukkan rimpang bibit sedalam 7,5–10 sentimeter dengan mata tunas menghadap ke atas.[5]
Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan penyiangan gulma sebanyak 2–5 kali, tergantung dari pertumbuhan gulma, sedangkan pembumbunan tanah dilakukan bila terdapat banyak rimpang yang tumbuh menyembul dari tanah.[1] Waktu panen yang paling baik untuk temu lawak yaitu pada umur 11–12 bulan karena hasilnya lebih banyak dan kualitas lebih baik daripada temu lawak yang dipanen pada umur 7–8 bulan.[5] Pemanenan dilakukan dengan cara menggali atau membongkar tanah di sekitar rimpang dengan menggunakan garpu atau cangkul.[1]
Perakaran temu lawak dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis tanah baik tanah berkapur, berpasir, agak berpasir maupun tanah-tanah berat yang berliat. Namun, untuk memproduksi rimpang yang optimal diperlukan tanah yang subur, gembur, dan berdrainase baik. Dengan demikian pemupukan anorganik dan organik diperlukan untuk memberi unsur hara yang cukup dan menjaga struktur tanah agar tetap gembur. Tanah yang mengandung bahan organik diperlukan untuk menjaga agar tanah tidak mudah tergenang air.
Temu lawak dapat tumbuh pada ketinggian tempat 5–1.000 mdpl dengan ketinggian tempat optimum adalah 750 mdpl. Kandungan pati tertinggi di dalam rimpang diperoleh pada tanaman yang ditanam pada ketinggian 240 mdpl. Temu lawak yang ditanam di dataran tinggi menghasilkan rimpang yang hanya mengandung sedikit minyak atsiri. Tanaman ini lebih cocok dikembangkan di dataran sedang.
Hama temu lawak adalah[butuh rujukan]:
Cara pengendaliannya dengan penyemprotan insektisida Kiltop 500 EC atau Dimilin 25 WP dengan konsentrasi 0,1–0,2%.
Gulma potensial pada pertanaman temu lawak adalah gulma kebun antara lain adalah rumput teki, alang-alang, ageratum, dan gulma berdaun lebar lainnya.
Dalam pertanian organik yang tidak menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya melainkan dengan bahan-bahan yang ramah lingkungan biasanya dilakukan secara terpadu sejak awal pertanaman untuk menghindari serangan hama dan penyakit tersebut yang dikenal dengan PHT (Pengendalian Hama Terpadu) yang komponennya adalah sbb:
Rimpang temu lawak dijual di pasar.
Di Indonesia satu-satunya bagian yang dimanfaatkan adalah rimpang. Rimpang temu lawak diekstrak untuk dibuat jamu godog/rebus. Rimpang ini mengandung 48–59,64 % zat tepung, 1,6–2,2 % kurkumin, dan 1,48–1,63 % minyak atsiri yang dipercaya dapat meningkatkan kerja ginjal serta antiinflamasi. Manfaat lain rimpang tanaman ini adalah sebagai obat jerawat, meningkatkan nafsu makan, antikolesterol, antiinflamasi, anemia, antioksidan, pencegah kanker, dan antimikroba.
Minuman ekstrak rimpang temu lawak berkarbonasi (limun temu lawak) juga dikenal di Indonesia, khususnya di Jawa. Minuman penyegar ini diproduksi mulai akhir dekade 1960-an dan mengalami kejayaan di sekitar 1970 sampai 1980-an.[6]
Rimpang temu lawak dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat dengan mengambil patinya, kemudian diolah menjadi bubur makanan untuk bayi dan orang-orang yang mengalami gangguan pencernaan.[7] Pada sisi lain, temu lawak juga mengandung senyawa pengusir (repellant) nyamuk, karena tumbuhan tersebut menghasilkan minyak atsiri yang mengandung linalool, suatu geraniol yaitu golongan fenol yang tidak disukai Aedes aegypti.[8]
Kandungan utama rimpang temu lawak adalah protein, karbohidrat, dan minyak atsiri yang terdiri atas kamfer, glukosida, turmerol, dan kurkumin.[2] Kurkumin bermanfaat sebagai antiinflamasi (antiradang) dan anti hepototoksik (anti-keracunan empedu).
Temu lawak memiliki efek farmakologi yaitu hepatoprotektor (mencegah penyakit hati), menurunkan kadar kolesterol, antiinflamasi (antiradang), laxative (pencahar), diuretik (peluruh kencing), dan menghilangkan nyeri sendi.[1] Manfaat lainnya yaitu, meningkatkan nafsu makan, melancarkan ASI, dan membersihkan darah.[2]